The Unexpected
Pagi itu, alarm membangunkan Mia dari tidurnya. Dengan malas-malasan, Mia bangun dari tempat tidur. Hari itu tanggal 16 Agustus. Sama seperti di sekolah-sekolah lain, sekolah Mia juga mengadakan lomba-lomba yang berbau 17-an. Sebenarnya Mia agak malas ke sekolah karna hari itu tidak ada kegiatan apapun selain lomba.
                “Ma, aku bolos aja ya,” kata Mia ke mamanya saat sarapan.
                “Kamu bolos di rumah juga mau ngapain?” tanya mamanya yang fokus ke tab-nya.
Mama dan papa Mia adalah orang yang sangat sibuk dengan pekerjaannya.
                “Tidur,” jawab Mia.
                “Hah, sudah gak usah banyak bicara tidak jelas lagi, kamu mending ke sekolah sekarang,” kata papa-nya.
                “Yah ngusir. Yaudah Mia sekolah. Bye ma, bye pa,” kata Mia.
                Mia datang ke sekolah jam 6.45. Mia selalu datang pagi karena ia tidak mau kena macet di jalan. Mia ke sekolah naik angkutan umum. Di sekolah hanya ada ia dan Haikal, teman sekelasnya. Sesampainya di sekolah Mia langsung tidur.
                “Tidur mulu,” kata Haikal sambil mendorong kursi Mia dari belakang.
                “Sshhh, semalem gue begadang,” kata Mia.
                “Ngapain?” tanya Haikal dengan tatapan penasaran.
                “Nonton,” jawab Mia.
                “Ckckck. Mia, jangan tidur dong. Semangat dikit kek, kan hari ini kita lomba memperingati hari kemerdekaan,” kata Haikal.
                “Justru itu.. karna isinya cuma lomba-lomba doang gue jadi males sekolah,” kata Mia.
                “Lah, gak boleh gitu dong. Kita tuh sebagai warga negara yang baik harus semangat,” kata Haikal.
                “Ya terserah lu deh ya. Gue sekarang mau tidur, gak usah diganggu, okay?” kata Mia.
                Sebenarnya Mia agak kaget juga mendengar Haikal begitu. Di kalangan teman-teman, Haikal itu termasuk cowok yang cuek, introvert, dan kadang tidak terlalu peduli dengan hal-hal kecil.
                “Gak boleh. Ayo dong semangat,” kata Haikal.
                “Ah, lu kenapa sih? Biasanya lu juga cuek banget,” kata Mia.
                “Suka-suka gue dong. By the way, gak ke semua orang gue bisa kayak gini loh,” kata Haikal sambil senyum-senyum jail.
                “Maksud lu? Sikap lu yang kayak gini ibaratnya barang limited edition gitu? Hih,” kata Mia.
                “Semangat dong Mi,” kata Haikal.
                “Iya iya,” kata Mia agak terpaksa.
                Selama lomba, Haikal selalu menarik Mia untuk ikut dan menyemangatinya. Awalnya Mia merasa terpaksa tetapi lama-kelamaan ia merasa asyik. Mia pun juga berbaur dengan sahabat-sahabatnya yang semangat mengikuti lomba. Lomba-lomba yang Mia ikuti ada estafet kelereng, estafet air, makan kerupuk, dan masih banyak lagi.
                “Seru juga ya Kal,” kata Mia ke Haikal.
                Haikal hanya tersenyum.
                Saking semangatnya, Mia ingin mencoba semua lomba yang ada.
                “Gue ikut tarik tambang ya,” kata Mia ke anak-anak kelasnya yang lain.
                “Semangat sih boleh, tapi mending yang tarik tambang yang cowo aja deh,” kata Haikal.
                “Gue pengen ikut, ayolah, please,” kata Mia.
                “Gak, khusus yang ini gak gue ijinin. Nanti tangan lu luka,” kata Haikal.
                “Yaelah, luka doang, eh lu semua pada setuju kan kalo gue ikut?” tanya Mia ke teman-teman sekelasnya.
                “Setuju lah. Lagian jarang-jarang juga kita lihat lu sesemangat ini ikut lomba,” kata Ian, teman sekelasnya.
                Mia sangat bersemangat saat main tarik tambang. Dia sudah lama tidak merasakan perasaan semangat seperti ini sejak kelas SMP dulu.
                “Lihat kan? Tangan gue gak luka sama sekali,” kata Mia ke Haikal setelah bermain tarik tambang.
                “Baguslah,” kata Haikal sambil melemaskan tangannya.
                “Tangan lu luka gak?” tanya Mia.
                “Iya dikit,” kata Haikal.
                “Ke P3K gih, minta disiremin alkohol,” kata Haikal.
                “Harus?” tanya Haikal.
                “Iyalah. Kalo gak nanti luka-nya gak kering-kering,” kata Mia.
                Haikal hanya diam saja.
                “Cepetan ih,” kata Mia.
                Haikal pun langsung berjalan ke arah anak-anak P3K untuk meminta obat.
                “Mia, kok lu jadi akrab gitu sih sama Haikal?” tanya Rin, sahabatnya.
                “Gue akrab sama semuanya kali,” kata Mia.
                “Iya tau tapi biasanya kan lu jarang banget akrab sama anak kayak Haikal gitu. Paling kadang kalo dia isengin lu doang. Lu liat deh, si Ivan luka aja lu gak sampe peduli banget,” kata Ian.
                Ivan adalah sahabat Mia dari kecil. Keluarga mereka juga cukup dekat.
                “Bosen kali merhatiin Ivan terus, sekali-kali yang lain lah,” kata Mia.
                “Ah, gak temen ah,” kata Ivan yang ternyata mendengar percakapan mereka dari tadi.
                “Ya udah sih,” kata Mia.
                “Tapi kok Haikal tumbenan ya rada perhatian gitu, jangan-jangan……..” kata Rin.
                “Sshhhh, sekarang bukan saatnya ngomongin cinta-cintaan okay? Nih ya, kalo bukan karna Haikal sadarin gue buat berpartisipasi, gak akan gue sesemangat ini,” kata Mia.
                “Wah, bagus juga kalian. Saling menyemangati, saling mendukung… PJ ditunggu loh ya,” kata Rin yang hobinya bercanda.
                “Terserah kalian deh ya nangkepnya gimana,” kata Mia.
                Tidak terasa acara hari itu selesai. Seperti biasanya, Mia makan siang di kantin sekolah dulu baru pulang.
                “Gue duduk sini boleh?” tanya Haikal yang melihat kursi di depan Mia kosong.
                “Duduk aja,” kata Mia.
                “Gimana, seru kan hari ini?” tanya Haikal.
                “Seru seru,” kata Mia dengan muka ceria.
                “Nah, gitu dong. Semangat. Masa mau deket-deket hari kemerdekaan bangsa sendiri masih cemberut,” kata Haikal.
                Mia hanya tertawa.
                “Besok jangan lupa ada upacara. Gak boleh bolos lu,” kata Haikal.
                “Duh lihat besok aja deh ya, pegel semua badan gue,” kata Mia.
                “Yah, balik lagi deh ke Mia yang awal. Justru yang penting itu besok pas upacara-nya Mia,” kata Haikal.
                “Kalo besok gue sakit?” tanya Mia.
                “Malah ngarep sakit,” kata Haikal.
                “Lah, gue gak ngarep. Kan gue bilang ‘kalo’, berarti belum pasti dong?” tanya Mia.
                “Terserah lu aja deh. Tapi dimana coba semangat nasionalis lu? Masa cuman gara-gara lomba begini aja lu sakit terus besok gak mau ikut upacara sih? Upacara itu penting, buat menghargai jasa-jasa pahlawan,” kata Haikal.
                Mia pun diam.
                “Oy Mia, kok diem sih? Sorry ya kalo misalkan tadi omongan gue kayak pisau, tapi emang bener kan yang gue omongin?” kata Haikal.
                “Iya bener sih,” kata Mia.
                Mia pun terdiam lagi.
                “Ya udah gue balik dulu ya, lihat besok aja deh gimana,” kata Mia.
                “Kok lihat besok aja gimana? Harus ikut lah, di absen loh,” kata Haikal.
                “Iya iya,” kata Mia.
                Selama di rumah, Mia hanya merenungkan kata-kata Haikal saat mereka makan siang tadi.  Kalau dipikir-pikir lagi, perkataan Haikal memang benar. Mia pun sadar kalau selama ini ia suka membolos saat upacara 17Agustus. Mia pun memustukan kalau besok ia akan ikut upacara.
                “Pagi Haikal,” kata Mia saat Haikal datang.
                Sebenarnya Haikal sudah di sekolah sejak pukul 06.45 tetapi karena sekolah masih sepi, ia sarapan dulu di restoran kecil dekat sekolah.
                “Tadi yang ngomong siapa?” tanya Haikal yang masih setengah sadar.
                “Suara gue udah bagus kayak gitu masa gak tau sih siapa yang ngomong,” kata Mia.
                “Eh Mia, pagi juga. Wih, masuk juga lu akhirnya,” kata Haikal.
                “Iyalah. Gara-gara omongan lu kemarin gue jadi sadar kalo kita tuh harus merayakan hari kemerdekaan sepenuh hati. Apalagi upacara-nya itu penting buat menghargai jasa-jasa pahlawan yang dulu memperjuangkannya,” kata Mia.
                “Nah, gitu dong. Itu baru semangat,” kata Haikal.
                “Thanks ya Kal uddah nyadarin gue,” kata Mia.
                “Sama-sama kali Mi,” kata Haikal.
                Mia dan Haikal pun asyik ngobrol sampai akhirnya mereka harus ke lapangan karena sudah waktunya untuk upacara. Dari kejadian di 17-an ini, Mia sadar bahwa ia harus lebih semangat dan lebih membangun jiwa nasionalis-nya lagi. Dari kejadian ini juga Mia mendapat orang special alias pacar yang dapat mengisi hari-harinya, yaitu Haikal.



Created by: Clara Stephanie

Comments

Popular posts from this blog

Basketball Never Stop!

Dance adalah Hidupku